Maulana Syaikh Nadzim Adil Al-Haqqani QS,
"In the Mystic Footsteps of Saints", Vol. 1
Cinta adalah sebentuk keelokan bagi Allah dan bagi hamba-hamba Nya. Jika kau melakukan sesuatu disertai rasa cinta maka hal itu pasti diterima oleh Tuhanmu, dan Dia akan membuatnya dipenuhi citarasa kenikmatan untukmu. Jika kau mencintai pekerjaanmu maka segalanya akan terasa mudah bagimu untuk melakukannya, jika tidak, segalanya hanya terasa sebagai derita. Tuhan berkata: "Aku tidak butuh peribadatanmu, Aku hanya mencari cinta yang dipersembahkan untuk Ku". Wahai hamba Allah, wahai orang-orang yang beriman, jangan kau abaikan hal ini. Jangan berlaku seperti budak yang berjejer di kapal laut ketika kau beribadah, kau sepatutnya beribadah dengan disertai rasa cinta bukan karena terpaksa, seolah-olah ada seorang mandor budak yang mengawasi didepanmu dengan cambuk ditangan! Allah tak pernah menghargai ketaatan semacam itu. Sekarang ini kita mencoba untuk melakukan semua amalan tapi lupa untuk memohon Cinta Ilahiah, sehingga kita menjadi seperti robot mekanis, atau seperti orang yang sedang melakukan olahraga senam.
Allah telah meminta kita menggunakan tubuh kita dalam beribadah kepada Nya dan dalam melayani mahluk-Nya melalui sedekah dan perbuatan-perbuatan baik, tapi apa seharusnya buah dari tindakan itu? Jika buahnya bukanlah cinta maka hasilnya adalah buah yang pahit dan ditolak. Jika ibadah kita menyebabkan Cinta Ilahi tumbuh dihati kita, maka kita harus terus melaksanakan amal itu dan terus istiqamah dijalan yang kita tempuh; dan jika kita bersama dengan seorang guru ruhani, dan mendapati bahwa melalui kebersamaan dengannya cinta kepada Allah bangkit di kalbu kita, maka kita harus terus mengikutinya dengan sedekat mungkin.
Cinta kepada Allah bukanlah sesuatu yang mudah didapat, karena kita tak mampu membayangkan Nya; karena itu, Dia Yang Mahakuasa telah menciptakan para Nabi sebagai utusan penyampai Cinta Nya. Kekasih Allah, Penutup para Nabi, Muhammad, selamat sejahtera atasnya, merupakan media paling murni untuk transmisi cinta itu sehingga kalbu para sahabatnya diliputi cintanya, dan dibawa kepada cinta Allah. Beliau SAW adalah wakil Allah, yang merupakan Kebenaran Mutlak; karena itu, Nabi SAW menyatakan: "Yang pernah melihatku (berarti) telah melihat Sang Kebenaran Mutlak".
Ketika suatu delegasi dari negeri non-muslim mengunjungi Madinah, mereka takjub pada cinta dan penghormatan yang ditunjukkan para sahabat kepada Nabi SAW. Ketika kembali ke negerinya, mereka berkata kepada pemimpinnya: "Kami telah melihat banyak kaisar, raja dan para kepala suku, tapi tak pernah menyaksikan yang orang-orang di kelompoknya memperlakukannya dengan ketulusan cinta dan ketaatan yang seperti itu. Bagaimana yang seperti ini bisa terjadi?" Mereka tak mampu memahami rahasia dari cinta ini, karena ego mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW. Cinta para sahabat terhadap Nabi SAW adalah sebagaimana yang mereka katakan kepadanya: "Aku bersedia berkorban untukmu bahkan (bersedia mengorbankan) juga ibu dan bapakku", yang bagi orang-orang Arab, ungkapan ini lebih kuat dari sekedar berkata: "Aku bersedia mengorbankan diriku untukmu." Dan dalam kenyataannya banyak diantara mereka yang mengalami penderitaan yang hampir tak tertahankan demi membela keyakinan mereka akan misi Nabi Suci: pengasingan, pencabutan hak waris, pemboikotan, penyiksaan dan kematian.
Siapa yang mewakili Nabi Suci SAW setelah kehidupannya di Bumi ini? Adalah mereka-mereka yang membangkitkan cita rasa cinta yang semacam itu. Nabi SAW sendiri menerangkan tentang mereka: "Orang-orang yang melihat mereka teringat akan Tuhan." Dia yang haus akan Cinta Ilahi mustilah mencari orang-orang semacam itu, tapi dimasa kita kini mereka kebanyakan tersembunyi, dan Islam difahami oleh kebanyakan orang hanyalah sebagai sekumpulan tata cara dan bentuk-bentuk peribadatan yang kosong melompong. Siapa yang mampu memperoleh suatu cita rasa dari hal yang semacam itu? Haruskah masjid menjadi hanya sekedar gedung olah raga (gymnasium)? Dan sekarang para "guru olah raga" menentang Jalan Sufi, yang merupakan perlintasan kalbu, jalan yang membawa kepada Cinta Ilahi.
Tuhan kita telah memberi kita alat untuk mengukur bukan tekanan darahmu tapi "tekanan cinta" kita dan tujuan kita adalah untuk membuatnya tinggi! Ya, teruslah meningkat setiap harinya, karena Nabi Suci SAW berkata: "Siapa yang tidak semakin membaik setiap harinya berarti mengalami kemunduran." Apa artinya ini? Hal ini bukanlah berarti bahwa jika kita shalat empatpuluh rakaat hari ini, besok kita shalat empatpuluh satu rakaat dan besoknya lagi empatpuluh dua rakaat. Bukan, tak perlu seperti itu, yang diperlukan adalah, yang dimaksudkan adalah kau memenuhi ibadahmu dengan cinta yang lebih banyak lagi kepada Tuhan mu, sehingga Dia akan mengamati: "Hamba Ku telah mengirimi Ku lebih banyak cinta hari ini dibanding kemarin." Salah satu Grandsyaikh kita telah dengan sempurna menyimpulkan apa yang ingin kusampaikan: "Sebutir cinta seberat sebuah atom adalah lebih berharga daripada beribadah tujuh puluh tahun yang tanpa disertai cinta."
Allah telah meminta kita menggunakan tubuh kita dalam beribadah kepada Nya dan dalam melayani mahluk-Nya melalui sedekah dan perbuatan-perbuatan baik, tapi apa seharusnya buah dari tindakan itu? Jika buahnya bukanlah cinta maka hasilnya adalah buah yang pahit dan ditolak. Jika ibadah kita menyebabkan Cinta Ilahi tumbuh dihati kita, maka kita harus terus melaksanakan amal itu dan terus istiqamah dijalan yang kita tempuh; dan jika kita bersama dengan seorang guru ruhani, dan mendapati bahwa melalui kebersamaan dengannya cinta kepada Allah bangkit di kalbu kita, maka kita harus terus mengikutinya dengan sedekat mungkin.
Cinta kepada Allah bukanlah sesuatu yang mudah didapat, karena kita tak mampu membayangkan Nya; karena itu, Dia Yang Mahakuasa telah menciptakan para Nabi sebagai utusan penyampai Cinta Nya. Kekasih Allah, Penutup para Nabi, Muhammad, selamat sejahtera atasnya, merupakan media paling murni untuk transmisi cinta itu sehingga kalbu para sahabatnya diliputi cintanya, dan dibawa kepada cinta Allah. Beliau SAW adalah wakil Allah, yang merupakan Kebenaran Mutlak; karena itu, Nabi SAW menyatakan: "Yang pernah melihatku (berarti) telah melihat Sang Kebenaran Mutlak".
Ketika suatu delegasi dari negeri non-muslim mengunjungi Madinah, mereka takjub pada cinta dan penghormatan yang ditunjukkan para sahabat kepada Nabi SAW. Ketika kembali ke negerinya, mereka berkata kepada pemimpinnya: "Kami telah melihat banyak kaisar, raja dan para kepala suku, tapi tak pernah menyaksikan yang orang-orang di kelompoknya memperlakukannya dengan ketulusan cinta dan ketaatan yang seperti itu. Bagaimana yang seperti ini bisa terjadi?" Mereka tak mampu memahami rahasia dari cinta ini, karena ego mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW. Cinta para sahabat terhadap Nabi SAW adalah sebagaimana yang mereka katakan kepadanya: "Aku bersedia berkorban untukmu bahkan (bersedia mengorbankan) juga ibu dan bapakku", yang bagi orang-orang Arab, ungkapan ini lebih kuat dari sekedar berkata: "Aku bersedia mengorbankan diriku untukmu." Dan dalam kenyataannya banyak diantara mereka yang mengalami penderitaan yang hampir tak tertahankan demi membela keyakinan mereka akan misi Nabi Suci: pengasingan, pencabutan hak waris, pemboikotan, penyiksaan dan kematian.
Siapa yang mewakili Nabi Suci SAW setelah kehidupannya di Bumi ini? Adalah mereka-mereka yang membangkitkan cita rasa cinta yang semacam itu. Nabi SAW sendiri menerangkan tentang mereka: "Orang-orang yang melihat mereka teringat akan Tuhan." Dia yang haus akan Cinta Ilahi mustilah mencari orang-orang semacam itu, tapi dimasa kita kini mereka kebanyakan tersembunyi, dan Islam difahami oleh kebanyakan orang hanyalah sebagai sekumpulan tata cara dan bentuk-bentuk peribadatan yang kosong melompong. Siapa yang mampu memperoleh suatu cita rasa dari hal yang semacam itu? Haruskah masjid menjadi hanya sekedar gedung olah raga (gymnasium)? Dan sekarang para "guru olah raga" menentang Jalan Sufi, yang merupakan perlintasan kalbu, jalan yang membawa kepada Cinta Ilahi.
Tuhan kita telah memberi kita alat untuk mengukur bukan tekanan darahmu tapi "tekanan cinta" kita dan tujuan kita adalah untuk membuatnya tinggi! Ya, teruslah meningkat setiap harinya, karena Nabi Suci SAW berkata: "Siapa yang tidak semakin membaik setiap harinya berarti mengalami kemunduran." Apa artinya ini? Hal ini bukanlah berarti bahwa jika kita shalat empatpuluh rakaat hari ini, besok kita shalat empatpuluh satu rakaat dan besoknya lagi empatpuluh dua rakaat. Bukan, tak perlu seperti itu, yang diperlukan adalah, yang dimaksudkan adalah kau memenuhi ibadahmu dengan cinta yang lebih banyak lagi kepada Tuhan mu, sehingga Dia akan mengamati: "Hamba Ku telah mengirimi Ku lebih banyak cinta hari ini dibanding kemarin." Salah satu Grandsyaikh kita telah dengan sempurna menyimpulkan apa yang ingin kusampaikan: "Sebutir cinta seberat sebuah atom adalah lebih berharga daripada beribadah tujuh puluh tahun yang tanpa disertai cinta."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar