Jumat, 12 Desember 2008

Suluk Dimulai Saat Pulang dari Takeran: Catatan Mengikuti Suluk di Takeran


Sebuah catatan harian mengikuti Suluk di Takeran Jatim oleh Atiq Zambani, Sumbawa

“…Kalian sampai ke tempat Suluk ini semata kehendak Allah…!” (Syaikh Mus)

Saya berangkat dari Sumbawa menuju pelabuhan umum Poto Tano dengan travel jam 11:00, usai jam kantor. Menyeberang Selat Sumbawa-Lombok dengan Ferry, sampai di bandara Ampenan Mataram jam tepat 16:40 Wita. Hanya atas kehendakNyalah saya selamat dan tidak terlambat sampai bandara, karena tumben kapal berjalan sedemikian lambat, dan harus antri menunggu kapal lain untuk bisa menepi ke dermaga. Sopir travel dan teman sekantor (yang membantu membelikan travel ) stress berat, full speed sampai ke Bandara Mataram.
Pesawat sampai ke Bandara Surabaya dengan selamat, saya putuskan ke Madiun naik Bus di terminal Bungur Asih. Saya sms Syaikh Mus posisi saya; beliau minta sebaiknya saya tidur di bis agar jam 02:00 bisa mulai ikut aktivitas Suluk.

Sampai terminal Madiun, nyambung naik mobil Daihatsu Hijet tahun 1980-an. Seluruh badan mobil tua itu berbunyi, seperti berdzikir jahr berganti-ganti …Huuu; Hay….; Haq…!!!!
Sesampai di Takeran sudah disambut ramah oleh seseorang, ternyata beliau adalah Syaikh Widodo, Manajer Operasional Suluk. Saya kira tuan rumahnya. Padahal beberapa hari lalu, sudah intens saling sms karena di Takeran kurang tenaga. Alhasil saya pontang-panting cari orang di kampung yang mau membantu. Oleh kawan dikirim, mas Amir Saudara kawan saya berasal dari desa yang agak jauh dari desa saya. Saya ketemu mas Amir juga baru di Takeran.
Mendengar cerita dari Syaikh Widodo, perihal romantika suka duka mengelola Suluk. Para pelayan suluk sebelumnya sudah pada pulang. Masya Allah tergambar bagaimana kerja keras-kerja Ikhlas seperti Syaikh Widodo ini. Ya Allah…karunikan RidloMu bagi Syaikh Widodo…sesungguhnya beliaulah yang sedang menjalani suluk sejati, Amien!

Mas Amir juga nampak gelisah, langsung menyatakan ingin segera pulang. Saya tidak bisa menahan lebih lama, meskipun Syaikh Widodo terang-terangan akan sangat kehilangan kalau Mas Amir pulang. Apa hendak dikata, esok harinya Mas Amir tetap pulang ke Jogja. Terimakasih jerih payahnya mas Amir. Jazakallah.

Saya baru pertama kali ini ikut Suluk. Syaikh Widodo memberi briefing aturan main Suluk dan memberikan foto copy-an amalan harian selama suluk, serta memberikan kerudung putih. (Masya Allah kain putih yang telah saya siapkan sebelumnya, ketinggalan di Sumbawa).
“…Insya Allah, Hikmah Haji akan kalian dapatkan dari Hikmah Suluk ini…”(Syaikh Mus)
Sabtu, 6 Desember 2008Saya diletakkan dalam bilik kecil dikelilingi kain kaffan putih, di bilik 28. Katanya sudah diminta kapling itu oleh Syaikh Iskandar sahabat saya dari Jogja, agar mudah komunikasi. Dengan beliau sempat tanya kabar, melalui saling tukar tulisan diatas kertas.
Saya mulai kenakan kerudung kain putih, menutupi seluruh wajah, hanya bisa melihat telapak kaki atau setengah meter di depan kaki.

Prosesi menghancurkan ego dimulai. Terutama terasa pada saat antri mandi dan ke kamar kecil. Tidak boleh bicara, sementara jumlah kamar mandi dan kamar kecil terbatas. Menharuskan saya sabar antri. Kalau antri mandi masih bisa bersabar, tapi kalau sudah kebelet…lumayan juga exercise menahan kesabaran ini.

Jam 02:00 Mulai sholat syukril wudlu, sholat syukur, sholat najad, sholat tahajud dan witir. Syaikh Mus memandu proses muhasabah menjelang subuh. Muhasabah yang dipandu Syaikh Musa amat luar biasa. Setiap kata yang beliau ucapkan langsung menohok ke semua titik-titik refleksi ego saya. Walaupun saya sudah mencoba bertahan untuk tidak menangis, toh akhirnya bendungan air mata ini jebol tak terbendung. Saya memang tergolong pribadi yang mudah menangis. Namun pada saat mengikuti training ESQ -yang hampir 95 persen pesertanya hujan airmata- entah kenapa aku tidak bisa menangis sampai ESQ selesai. Rupanya kata-kata pemandu ESQ tidak bisa menyentuh titik refleksi ego saya. Prosesi penghancuran Ego oleh Syaikh Mus malam itu, Subhanallah membawa pengalaman batiniyah yang sulit digambarkan dengan kata-akata.

Usai dzikir harian shubuh diteruskan dengan membaca dalail di dalam bilik kain kaffan. Karena kecapaian saya jatuh tertidur tidak terasa. Dibangunkan suara membaca Alquran dari Syaikh disamping bilik saya. Rasanya tidur saya sudah lama banget, saya lihat jam tangan kaget eh… baru jam 08:00. Bangun tidur buruan antri mandi-kamar kecil, untuk kembali menguji kesabaran.

Saya mulai membaca panduan Suluk, dan amaliyah harian. Masya Allah..banyak banget bilangannya, sempat saya ragu apakah saya bisa menyantap seluruh sajian menu-menu amaliyah harian ini?. “ Madad ya sayyidi…madad ya rosullah…madad ya sulthon awliya…madad, ringankan saya menjalani semua amaliyah ini dengan baik”.

Berkumpul di Mushola (ruang tamu tuan rumah); sholat dhuha bersama; dilanjutkan baca Burdah secara marathon dengan speed tinggi (kitab dalail saya ketinggalan di kamar) mencoba melirik kitab samping teman duduk. Karena tidak fokus, saya tidak bisa mengimbangi kecepatan baca para syaikh yang lain. Akhirnya aku nikmati saya alunan melodi burdah, pelan-pelan menghanyutkan imaginasi. Membayangkan bagaimana bahagianya Imam al-Bushiri yang telah sembuh dari sakit lumpuh, setelah sekian lama beliau tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Beliau membuat syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, beliau bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. di mana Rosullah mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya. Saya kian larut membayangkan bagiamana agungnya tatapan mata Rosulullah melihat para pengikutnya memujinya dengan lirik Burdah…yang aku juga tidak paham artinya.

“Arsy..terguncang, di Takeran ada lantunan Burdah…” kata Syaikh Mus…persis apa yang sedang kubayangkan. Aku larut dalam suasana itu, imaginasiku sudah tak bisa kukendalikan entah kemana…sampai-sampai tidak begitu ingat apa point penting sohbet Syaikh Mus pagi hari itu.

Usai jamaah sholat Dzuhur dan Dzikir harian, kembali ke bilik. Terbayang aku masih banyak sajian menu dzikir harian yang harus kuselesaikan. Baru selesai baca Allah..Allah 48.000 kali, masih ada deretan dzikir dan sholawat, baca Al quran. Aku mulai dengan hati terburu-buru (mirip sopir angkot buru penumpang kejar setoran); akhirnya aku malu sendiri pada diriku sendiri. Lalu speed kukurangi dengan menyelami maknanya; pelan-pelan laurt tenggelam dalam alunan dzikir, dan tak terasa masuk sholat Ashar.

Usai sholat Ashar dan dzikir hariannya, buru-buru masuk bilik untuk melanjutkan menghabiskan sajian dzikir harian, Alhamdulillah menjelang maghrib bisa selesai, kecuali Hizbul A’dhom, yang belum pernah aku baca sebelumnya.

Nasi 2 sendok, sop wortel dan kacang merah dan 3 butir kurma; saya pikir apakah saya kuat dengan makan sesedikit ini. Di luar dugaan, badan tetap terasa segar, dan perut tidak merasa melilit. Alhamdulillah.

Usai sholat Isya dan dzikir harian, melanjutkan dzikir sampai tidak terasa tidur.
Minggu, 7 Desember 2008 Jam 01:00Saya terbangun tepat, beberapa saat sebelum Syaikh Widodo menyentuh kaki. Antri kekamar mandi dan kamar kecil adalah saat yang aku rindukan untuk berlatih kesabaran. Sholatullail dan muhasabah Syaikh Mus malam kedua saya pikir sudah tidak membuat saya menangis lagi. Namun tetap saja, setiap kata syaikh Mus memunculkan imaginasi yang berbeda dengan malam sebelumnya, yang kesemuanya menyentuk titik refleksi dari Egoku…Air mata tetap saja tumpah ruah tak terkendali lagi.
Jam-jam berikutnya terasa cepat berlalu, tenggelam dalam amaliyah dzikir harian.
“…Setiap gerak-gerik Syaikh Nadzim adalah keajaiban…” (Syaikh Hisyam)

Demikian kata Syaikh Hisyam dalam salah satu sohbetnya. Demikian juga yang saya alami selama berinteraksi dengan Syaikh Mus. Berikut beberapa yang bisa saya ungkapkan di luar pengalaman yang sulit untuk saya tuliskan.

Saya biasa pilih tempat di samping atau di belakang Syaikh Mus untuk sholat. Mengikuti Syaikh Iskandar. Selain utk mendapat barakah, juga ada dekat kipas angin. Sewaktu mulai sholat malam, Syaikh Mus tidak ada, Ketika Imam sholat membaca Alfatekhah..sampai Iyyaka na’budu….nyelonong bisikan syaitan dalam pikiran saya…”Apakah syaikh mus ketiduran, kok tidak ikut sholat malam…?”. Belum selesai batin ini bicara, langsung disambar suara..hem (berdehem..bahasa Jawa); Syaikah Mus ternyata sholat di ruang dalam. Aku maki diriku sendiri sudah su’udzon pada Syaikh. (Maaf Syaikh Mus…)Setiap dzikir mulai dilantunkan seiring dengan melelehnya ego, saya tiba-tiba menjadi amat kecil dan tidak PeDe. Saya kuatir Syaikh Mus menunjuk saya utk memimpin doa atau Imam Sholat. Sewaktu dzikir harian, menjelang berdoa…saya berdoa Ya Allah jangan saya ditunjuk berdo’a…tiba-tiba syaikh Mus ngendiko,” Atiq Sumbawa melengkapi do’a…”. Nah lho…! Bisa jadi kejadian itu hanya kebetulan. Peristiwa kedua terulang saat mau sholat Isya’. Saya dalam kondisi down, dan berdo’a jangan sampai saya ketiban dawuh Syaikh Mus. Tiba-tiba Syaikh Mus ngendiko,” Atiq Sumbawa…!” Waduuh…maju deh jadi Imam sholat. Akhir sholat Syaikh Mus ngendiko,” Kalian ini anak-anak Syaikh Nadzim, yang Pede dong…!”. Dalam hati saya dari mana Syaikh Mus pirso kalau saya sedang tidak pede…!Syaikh Mus ngendiko dalam sohbetnya, “Jangan kalian merasa bahwa kehadiran kalian suluk disini atas upaya kalia sendiri. Ini atas kehendak Allah, Rosulullah dan Undangan Syaikh Nadzim atas doa orang tua kalian…”. Tiba-tiba saya ingat, baju yang saya pakai ini adalah baju almarhum Bapak saya, yang dibuat sekitar sepuluh tahun silam. Baju itu tersimpan dalam almari almarhum, rumahnya terpisah dari rumah saya. Sewaktu gempa Jogja, lemari itu berada dalam reruntuhan gempa. Sewaktu saya ke Jogja ke rumah saya sendiri, saya mencari baju dan asal tarik dari lemari saya dapat baju itu. Saya heran kenapa ada baju yang pas dengan badan saya, tapi itu bukan milik saya. Adik-adik bilang itu baju bapak saya. Dan sekarang saya pakai selama Suluk. Bapak saya tidak hanya mendoakan agar ikut Suluk, tetapi beliau sendirilah yang sebenarnya ikut Suluk, melalui badan saya.

Kedua, sewaktu berangkat Sumbawa-Madiun, biasanya ferry penyeberangan Sumbawa-Lombok maksimum ditempuh 2 jam. Waktu itu ada kapal lain di depan saya yang belum lepas dari dermaga Kayangan Lombok. Dengan demikian ferry tidak bisa menepi. Harus antri. Teman saya gelisah, kalau sampai terlambat ke airport (maklum saya beli ticket dari travel agent punya adiknya). Al hasil kami dilaut lebih dari 3 jam, kemudian travel Kayangan Mataram ngebut agar sampai di airport jam 4:30. Alhamdulillah kami tiba di airport dengan selamat, dan terjadi delay penerbangan 30 menit sehingga saya bisa ke Surabaya. “Suluk baru akan dimulai saat kalian pulang dari Takeran…;” Kata Syaikh Mus ini amat mengganggu saya. Walu hanya dua hari saya sempat mengikuti suluk, sudah terasa bagaimana beratnya melawan Ego. Dua hari saja suluk sudah sedemikian luar biasa berat, apalagi dihadapkan the real Suluk dalam kehidupan sehari-hari.

Alhamdulillah berkah do’a para syaikh, beberapa hikmah suluk yang Insya Allah akan bisa merubah pola hidup saya sebagai berikut:
Pola makan: selama suluk hanya dua kali makan dengan porsi seperempat dari kebiasaan makan saya, itupun biasanya tiga kali per hari dengan menu yang ini dan itu. Selama suluk menu makan sederhana dengan jadwal ketat-pun bisa saya lalui, mengapa dalam kehidupan sehari-hari tidak? Kebetulan saya kelebihan berat badan 10 kg dari kondisi ideal.

Dzikir harian: Syaikh Mus ngendiko,” Rasakan setiap dzikirmu sampai merembes kedalam sanubarimu yang akan merubah perilakumu”. Alhamdulillah, sebelumnya Dzikir harian ini saya masih bolong-bolong sering terasa berat, sehabis Suluk ini terasa ringan dijalankan.
Pandangan Mata: Selama suluk hanya bisa melihat selangkah kaki ke depan ini. Alhamdulillah saya yang sulit mengendalikan pandangan saya kemana-mana menjadi lebih mudah terkendali. Walaupun terkadang masih sulit utk selalu menunduk, tapi Alhamdulillah alarm di hati ini cepat berbunyi, “Hey..mataku tunduklah kamu….”!

Diam dan Sabar: Selam suluk tidak boleh bicara, apalagi complain. Peristiwa antri kamar mandi dan WC selama suluk ini memberi pengaruh luar biasa terhadap diri untuk tidak gampang mengkritik, dan berperilaku sabar. Saya bekerja yang mengharuskan banyak bicara kepada rekan kerja dan staff maupun stake holders yang lain, setidaknya sekarang ini alarm hati sudah aktif, “ Hey mulutku …bercakaplah yang penting-penting saja…!”. Alhamdulillah sekarang terasa ada remnya.

Hikmah suluk yang saya dapatkan ini tentu saja masih jauh dari harapan untuk berkepantasan menjadi seroang Salik.

Saya akhiri catatan Suluk ini, dengan harapan para Muhibbin Naqsybandi Haqqani yang belum turut serta Suluk mendapat gambaran bagaimana rasanya mengikuti Suluk. Namun, bagi orang yang belum pernah merasakan madu dijelaskan seperti apapun tidak akan bisa merasakan madu itu seperti apa, kecuali merasakannya sendiri.

Syukron Wassalam

Sumber. Atiq Zambani, Sumbawa
Dari : http://www.madadulhaqq.net/content/view/49/1/

Tidak ada komentar:

Kumpul Blogger