Syamsuddin Tabrizi dilahirkan di Kota Tabriz di Persia pada Tahun 1148 M. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kejeniusan luar biasa. Jangankan bermain, ia justru malah menghadiri Majelis Pengajian dan belajar tentang Syekh-syekh Sufi masa lalu. Di usia yang masih sangat muda, ia merasakan kerinduan dan mencari-cari sang kekasih dalam dirinya. Karena tidak ada seorang anak sebaya pun yang bisa memahaminya, ia sering menghabiskan waktunya sendirian. Karena itulah, Sayms selalu kelihatan murung dan sedih.
Orang tua Syams mengira bahwa kemurungan dan kesedihannya lantaran keinginannya tidak tercapai, sebagaimana lazimnya terjadi pada diri anak muda. Mengenai hal ini Syams berkata, “Tatkala mereka bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau murung dan sedih? Apakah engkau menginginkan baju-baju terbuat dari perak dan emas? Lalu kujawab, ‘Tidak, aku menginginkan seseorang yang bisa menanggalkan/melepaskan apa yang sudah kukenakan ini,’”. Yang di maksud Syams adalah bahwa ia menginginkan agar baju egoisme/ke Aku an/sifat mementingkan diri sendiri/sifat merasa paling benar dihilangkan dari jiwanya. Seseorang yang mendengar jawaban demikian dari Syams tidak sanggup memahami makna-makna terdalam di balik kata-katanya dan sudah pasti banyak yang menganggapnya sebagai orang yang tidak waras
Dalam usianya yang belasan tahun, Syams melewati periode susah tidur dn kehilangan nafsu makan selama lebih dari sebulan. Ketika di tanya mengapa Ia tidak makan dan tidak tidur, ia menjawab, “Mengapa aku mesti makan dan tidur, Jika Allah yang menciptakan diriku begini, tidak berbicara kepadaku secara langsung? Apa perlunya aku makan dan tidur? Jika Dia (Allah) sudah mau berbicara kepadaku secara langsung dan aku mengetahui mengapa aku diciptakan, dari mana asalku, dan kemana aku kembali, barulah aku mau makan dan tidur.” Pada masa itu Syams menyebut periode ini sebagai masa Cinta Sejati, ketika kerinduannya kepada Tuhan menjadikannya tidak perduli pada berbagai kebutuhan fisik.
Ketika Syams beranjak dewasa, seorang guru sufi, Abu Bakr Silah-Baf, mulai mendidiknya dalam menempuh berbagai tahap jalan spiritual. Tak lama kemudian sang guru pun menyadari bahwa Syams telah mencapai kedudukan yang sangat tinggi sehingga tidak perlu lagi ia menjadi Murid. Atas saran dan anjuran gurunya, Syams mulai mencari murid sendiri, yang bisa melanjutkan dan menghidupkan segenap harapan dan cita-citanya. Lalu mulailah Syams mengembara dari satu kota ke kota lainnya dan dari satu negeri ke negeri yang lainnya.
Sewaktu singgah di Baghdad, Syams berjumpa dengan Auhaduddin Kermani, seorang syekh Sufi yang berkeyakinan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tingkatan spiritualitas tinggi adalah dengan memperhatikan dan mengamati sifat-sifat Ilahi dalam wirid Asma Allah dan dalam berbagai keindahan Makhluk-Nya.
Lalu kemudian Syams bertanya kepada Syekh Sufi tsb.
Syams : Apakah yang sedang Syekh lakukan?
Syekh Sufi : Aku sedang melihat dan memperhatikan pantulan bulan di danau ini?
Syams : Apakah lehermu sakit? Atau ada bisulnya ?
Syekh Sufi : tidak! Leherku sehat-sehat saja dan tidak ada bisulnya.
Syams : Jika lehermu tidak sakit mengapa engkau tidak memandang ke langit? Apakah Engkau sudah buta sehingga engkau tidak melihat benda yang sesungguhnya dan yang selama ini selalu engkau fikirkan?
Jawaban Syams sangat berpengaruh sekali pada diri Syekh sehingga ia meminta agar Syams mau menerimanya sebagai Murid.
Syams : Engkau tidak akan sanggup dan tidak akan kuat bersamaku.
Syekh Sufi : Kekuatan itu ada dalam diriku, Tolong terimalah aku menjadi muridmu.
Syams : Kalau engkau memaksa juga, baiklah! Kalau begitu tolong bawakan aku sekendi anggur/arak,
dan marilah kita meminumnya bersama di pasar Baghdad ini.
Karena merasa takut pada pandangan masyarakat dan malu jika di lihat oleh Murid-muridnya (lantaran minuman beralkohol itu haram dan dilarang dalam Agama Islam), Syekh pun menjawab,
Syekh Sufi : Aku tidak bisa melakukan ini!
Syams berseru : Itulah! Sudah kubilang engkau tidak akan sanggup dan tidak kuat bersamaku. Bagiku engkau adalah penakut! Engkau tidak sanggup bergaul dengan para kekasih Allah dan para Wali Allah. Dan Aku hanya mencari seseorang yang tahu bagaimana mencapai dan menggapai kebenaran yang sesungguhnya.
Kemudian Syams meninggalkan Syekh Sufi itu dan terus mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari seorang murid yang ideal.
Sebagian kaum Sufi menyamakan Syams seperti Nabi Khaidir yang misterius, sang pembimbing dan pelindung kaum Sufi, yang muncul dan menghilang karena kesadaran normal sesudah menyampaikan pesannya.
Bagi kebanyakan orang, Syams tetaplah sosok Misterius. Tidak ada satu pun dari ajaran-ajarannya yang tersisa, kecuali sebuah kitab yang berjudul : “Berbagai Pasal Syams Tabrizi”. Kitab ini berisi serangkaian ceramah yang diberikan oleh Syams dalam paguyuban sufi di Konya dan di catat oleh sebagian kaum Sufi yang mendengarkannya.
Sumber : http://pengembarajiwa.wordpress.com/2008/09/16/syamsuddin-tabrizi-sang-pengembara-jiwa-misterius/
Kamis, 11 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar