
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs
dalam buku Encyclopedia of Islamic Doctrine vol. 3 menulis:
SYEKH ‘ABD AL-QÂDIR AL-JÎLÂNÎ AL-HASANÎ AL-HANBALÎ TENTANG ZIARAH
Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî menulis dalam al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq ‘Azza wa Jalla:
Bila Allah swt memberkati para pengunjung Tanah Suci dengan kemakmuran dan ia dapat pergi ke Madinah, maka apa yang sebaiknya ia lakukan adalah mendatangi masjid Nabi saw. dan begitu masuk mengatakan, “Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âl Muhammadin, wa iftah lî abwâb rahmatika, wa kaff ‘annî abwâb ‘adzâbika, al-hamd li Allâh rabb al-‘âlamîn (Ya Allah, berikanlah selawat dan salam kepada Muhammad saw dan kepada keluarga Muhammad saw, dan bukakanlah bagiku pintu rahmat-Mu, dan tutuplah dariku pintu azab-Mu, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam).”
Setelah itu hendaknya ia pergi ke makam Nabi saw. dan berdiri di dekatnya dan sebaiknya berada di antara makam dan kiblat. Hendaknya ia berdiri sementara dinding di arah kiblat berada di belakangnya dan makam berada di depannya tepat mengarah mukanya, dan mimbar berada di sebelah kirinya … Kemudian hendaknya ia membaca:
Assalamu alaikum, wahai Nabi saw!
Ya Allah swt, berikanlah selawat dan salam kepada Muhammad saw dan kepada keluarga Muhammad saw sebagaimana telah Engkau berikan selawat kepada Ibrahim as. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.
Ya Allah swt, berikanlah kepada junjungan kami Muhammad saw al-wasîlah (kedudukan sebagai penghubung), fadilat, dan derajat yang tinggi, dan angkatlah beliau ke kedudukan yang mulia yang telah Engkau janjikan kepadanya.
Ya Allah swt, berkatilah ruh Muhammad saw di antara segala arwah, dan berkatilah jasad Muhammad saw di antara segala jasad, karena ia telah menyampaikan risalah-Mu, membacakan ayat-ayat-Mu, berperang atas perintah-Mu, berjuang keras di jalan-Mu, memerintahkan agar Engkau ditaati dan mencegah agar Engkau tak diingkari, melawan mereka yang melawan-Mu
dan menolong mereka yang menolong-Mu, serta mengabdi-Mu sampai ajal menjemputnya.
Ya Allah swt, Engkau berfirman kepada Nabi-Mu dalam Kitab-Mu, “Kalau saja mereka itu, tatkala sadar telah berbuat zalim atas dirinya, datang kepadamu dan meminta ampunan kepada Allah swt, dan Rasul kemudian memintakan ampunan buat mereka, niscaya mereka akan dapatkan bahwa Allah swt itu sungguh Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (4:64), dan aku telah datang ke Rumah-Mu dengan penyesalan atas dosa-dosaku dan mengharap ampunan dari-Mu. Karena itu, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan ampunan yang dijaminkan untukku sebagaimana Engkau telah menjadikannya terjamin untuk mereka yang datang kepadanya saat beliau hidup untuk mengakui dosa-dosanya, kemudian Nabi mereka pun meminta-Mu atas nama mereka, dan Engkau pun mengampuni mereka.
Ya Allah swt, aku meminta tolong kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kedamaian-Mu atasnya, dialah Nabi yang penuh rahmat. Wahai Rasulullah saw, aku meminta tolong denganmu kepada Tuhanku agar Dia mengampuni dosa-dosaku. Ya Allah swt, aku meminta-Mu dengan hak istimewanya (bi haqqihî) agar Engkau mengampuniku dan memberi rahmat kepadaku.
Ya Allah swt, jadikanlah Muhammad saw sebagai orang pertama di antara mereka yang memberikan syafaat, orang yang paling berhasil di antara mereka yang meminta, dan orang yang paling mulia di antara yang terdahulu dan terkemudian. Ya Allah swt, sebagaimana kami mengimaninya tanpa kami melihatnya, dan sebagaimana kami merasa pasti kepadanya tanpa kami bertemu dengannya, masukkanlah kami ke tempat ia masuk dan bangkitkanlah kami dalam jamaahnya, bawalah kami ke Telaganya, dan puaskanlah kami dengan cangkirnya yang penuh dengan minuman yang segar, bersih, dan menghilangkan dahaga, sehingga kami tak akan pernah merasakan kehausan lagi. Jagalah kami selamanya agar jauh dari kekecewaan, pengkhianatan, penyimpangan, pengingkaran, dan keraguan. Dan janganlah Engkau jadikan kami di antara orang-orang yang Engkau benci, dan orang-orang yang tersesat, tetapi tempatkanlah kami di antara orang-orang yang mendapatkan syafaatnya.
Kemudian, hendaknya ia melangkah ke sebelah kiri dan mengatakan, “Semogalah kedamaian atasmu berdua, wahai sahabat Rasulullah saw, demikian juga rahmat Allah dan berkat-Nya. Semogalah kedamaian atasmu, wahai Abû Bakr al-Shiddîq ra. Semogalah kedamaian atasmu, wahai ‘Umar al-Fârûq ra. Ya Allah swt, limpahkanlah kepada mereka kebaikan yang banyak atas nama Nabi mereka dan seluruh muslimin. Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan. Janganlah Engkau letakkan pada hati-hati kami rasa dengki dan benci kepada orang-orang beriman, ya Allah swt Yang Mahamulia dan Maha Pemurah.” Setelah itu, hendaklah ia salat dua rakaat dan duduk. Disunatkan agar ia salat di antara makam dan mimbar di tengah Rawdhah; dan bila ia mau, mengusap mimbar untuk mendapatkan barakahnya; juga melakukan salat di masjid Quba; kemudian berziarah ke makam-makam syuhada dan membaca banyak doa di sana.
Setelah itu, bila ia akan meninggalkan Madinah, hendaklah mendatangi dulu masjid Nabi saw, mendekati makamnya, membaca salam kepada Nabi saw, dan melakukan persis apa yang dia lakukan sebelumnya, kemudian mengucapkan selamat tinggal kepadanya, demikian juga membaca salam kepada kedua sahabatnya dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Kemudian hendaknya ia mengatakan, “Ya Allah swt, janganlah Engkau jadikan ini sebagai yang terakhir bagi ziarahku ke makam Nabi-Mu. Bila Engkau takdirkan aku untuk mati, matikanlah aku dalam keadaan mencintainya dan sunahnya. Amin, Yâ arham al-Râhimîn (Wahai Yang Maha Pengasih di atas segalanya)! Setelah itu, ia pun dapat meninggalkannya dengan penuh kedamaian, insya Allah.
Penjelasan atas Doa al-Jîlânî, “Aku Telah Datang ke Rumah-Mu”
Penyebutan “datang ke Rumah-Mu” dalam doa yang direkomendasikan oleh Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî untuk para peziarah ke makam Nabi saw, menekankan pentingnya tempat sebagai media bantu yang berguna dalam memanjatkan doa. Tempat-tempat seperti ini meliputi ketiga masjid, rumah-rumah dan masjid-masjid yang ada hubungannya dengan nabi-nabi dan wali-wali Allah swt, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kedudukan penting dan barakah dari para wali Allah swt itu tidak berhenti setelah mereka wafat dan berakhirnya perbuatan mereka, tetapi terus berlangsung di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan mereka. Ini dapat dirujuk ke ayat tentang kunjungan Zakaria as kepada Maryam, yang bukan seorang nabi, tetapi seorang wali Allah swt, tatkala ia menunjuk pada kedudukan penting dari mihrab Maryam, suatu kedudukan penting yang didasarkan atas kesalehannya sendiri dan perbuatan-perbuatan nya. Zakaria as, karenanya, memberi perhatian khusus pada tempat tersebut dengan kembali mendatanginya dan melakukan doa di sana dan tidak di tempat lainnya.
Maka Tuhannya pun menerimanya dengan sebaik-baiknya penerimaan; Ia menumbuhkannya dengan kesucian dan keelokan. Dia pun dipelihara oleh Zakaria as. Setiap kali ia masuk ke dalam mihrabnya untuk menjenguknya, ia menemukannya telah dikaruniai rezeki. Ia mengatakan, “Wahai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini?” Ia berkata, “Ini semua dari Allah swt, karena Allah swt memberi rezeki siapa saja yang Ia kehendaki tanpa perhitungan.” Di sanalah Zakaria as berdoa kepada Tuhannya dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, berilah aku dengan karunia-Mu keturunan yang baik, karena Engkau Maha Pendengar atas doa.” Selagi ia berdiri salat di dalam mihrab, malaikat menyerunya, “Allah swt telah memberimu kabar gembira dengan Yahya as, yang akan mengokohkan kebenaran atas Firman dari Allah swt, sebagai orang terkemuka, yang menjaga kehormatan, dan seorang nabi—termasuk di antara orang-orang saleh” (3:37-39).
Kesucian Maryam al-Adzrâ (Sang Perawan) telah menjadikan mihrabnya sendiri sebagai suatu tempat yang suci. Zakaria as melihat ini dan menggunakan tempat tersebut sebagai media bantu bagi doanya. Doanya diterima secara langsung selagi ia masih berdiri di tempat tersebut. Inilah alasan mengapa al-Jîlânî menekankan secara khusus pentingnya suatu tempat dan merekomendasikan agar ayat tentang syafaat dibacakan oleh peziarah begitu datang ke makam Nabi saw.
Ini serupa dengan keterangan mengenai tawasul Abû Mûsâ al-Asy‘arî ra yang meletakkan pipinya pada permukaan makam, yang menunjukkan kedudukan penting tempat tersebut karena barakahnya. Ini serupa pula dengan kisah al-‘Utbî, yang dicuplik bab ini, di mana sang peziarah menyebutkan bahwa gundukan tanah itu sendiri merupakan tempat penuh barakah, lebih dari sekadar mengatakan bahwa ia sedang berziarah kepada Nabi saw.
Demikian halnya, doa dalam mihrab para wali di seluruh dunia akan dikabulkan, dikarenakan perbuatan baik, kesalehan, dan ketulusan mereka, meskipun mereka telah meninggal dunia, semata karena mereka mendiami tempat tersebut. Sama halnya, Abû Bakr ra dan ‘Umar ra meminta izin untuk dimakamkan di dekat Nabi saw. karena mengharap mendapatkan barakah dari tempat tersebut.
Ini lebih jauh dikuatkan oleh kata-kata ‘Â’isyah tatkala mengizinkan ‘Umar ra untuk dimakamkan di dekat Nabi saw. di tempat miliknya; “Aku ingin dikuburkan di sana (dekat Nabi saw.), tetapi aku tidak ingin orang-orang memperlakukanku sebagai orang suci.” Ini menunjukkan bahwa ‘Â’isyah tahu bahwa tempat itu suci, tetapi karena kerendahhatian, beliau menyediakan hak istimewa atas kesucian itu buat Abû Bakr ra dan ‘Umar ra ketimbang untuk dirinya sendiri.
dalam buku Encyclopedia of Islamic Doctrine vol. 3 menulis:
SYEKH ‘ABD AL-QÂDIR AL-JÎLÂNÎ AL-HASANÎ AL-HANBALÎ TENTANG ZIARAH
Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî menulis dalam al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq ‘Azza wa Jalla:
Bila Allah swt memberkati para pengunjung Tanah Suci dengan kemakmuran dan ia dapat pergi ke Madinah, maka apa yang sebaiknya ia lakukan adalah mendatangi masjid Nabi saw. dan begitu masuk mengatakan, “Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âl Muhammadin, wa iftah lî abwâb rahmatika, wa kaff ‘annî abwâb ‘adzâbika, al-hamd li Allâh rabb al-‘âlamîn (Ya Allah, berikanlah selawat dan salam kepada Muhammad saw dan kepada keluarga Muhammad saw, dan bukakanlah bagiku pintu rahmat-Mu, dan tutuplah dariku pintu azab-Mu, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam).”
Setelah itu hendaknya ia pergi ke makam Nabi saw. dan berdiri di dekatnya dan sebaiknya berada di antara makam dan kiblat. Hendaknya ia berdiri sementara dinding di arah kiblat berada di belakangnya dan makam berada di depannya tepat mengarah mukanya, dan mimbar berada di sebelah kirinya … Kemudian hendaknya ia membaca:
Assalamu alaikum, wahai Nabi saw!
Ya Allah swt, berikanlah selawat dan salam kepada Muhammad saw dan kepada keluarga Muhammad saw sebagaimana telah Engkau berikan selawat kepada Ibrahim as. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.
Ya Allah swt, berikanlah kepada junjungan kami Muhammad saw al-wasîlah (kedudukan sebagai penghubung), fadilat, dan derajat yang tinggi, dan angkatlah beliau ke kedudukan yang mulia yang telah Engkau janjikan kepadanya.
Ya Allah swt, berkatilah ruh Muhammad saw di antara segala arwah, dan berkatilah jasad Muhammad saw di antara segala jasad, karena ia telah menyampaikan risalah-Mu, membacakan ayat-ayat-Mu, berperang atas perintah-Mu, berjuang keras di jalan-Mu, memerintahkan agar Engkau ditaati dan mencegah agar Engkau tak diingkari, melawan mereka yang melawan-Mu
dan menolong mereka yang menolong-Mu, serta mengabdi-Mu sampai ajal menjemputnya.
Ya Allah swt, Engkau berfirman kepada Nabi-Mu dalam Kitab-Mu, “Kalau saja mereka itu, tatkala sadar telah berbuat zalim atas dirinya, datang kepadamu dan meminta ampunan kepada Allah swt, dan Rasul kemudian memintakan ampunan buat mereka, niscaya mereka akan dapatkan bahwa Allah swt itu sungguh Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (4:64), dan aku telah datang ke Rumah-Mu dengan penyesalan atas dosa-dosaku dan mengharap ampunan dari-Mu. Karena itu, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan ampunan yang dijaminkan untukku sebagaimana Engkau telah menjadikannya terjamin untuk mereka yang datang kepadanya saat beliau hidup untuk mengakui dosa-dosanya, kemudian Nabi mereka pun meminta-Mu atas nama mereka, dan Engkau pun mengampuni mereka.
Ya Allah swt, aku meminta tolong kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kedamaian-Mu atasnya, dialah Nabi yang penuh rahmat. Wahai Rasulullah saw, aku meminta tolong denganmu kepada Tuhanku agar Dia mengampuni dosa-dosaku. Ya Allah swt, aku meminta-Mu dengan hak istimewanya (bi haqqihî) agar Engkau mengampuniku dan memberi rahmat kepadaku.
Ya Allah swt, jadikanlah Muhammad saw sebagai orang pertama di antara mereka yang memberikan syafaat, orang yang paling berhasil di antara mereka yang meminta, dan orang yang paling mulia di antara yang terdahulu dan terkemudian. Ya Allah swt, sebagaimana kami mengimaninya tanpa kami melihatnya, dan sebagaimana kami merasa pasti kepadanya tanpa kami bertemu dengannya, masukkanlah kami ke tempat ia masuk dan bangkitkanlah kami dalam jamaahnya, bawalah kami ke Telaganya, dan puaskanlah kami dengan cangkirnya yang penuh dengan minuman yang segar, bersih, dan menghilangkan dahaga, sehingga kami tak akan pernah merasakan kehausan lagi. Jagalah kami selamanya agar jauh dari kekecewaan, pengkhianatan, penyimpangan, pengingkaran, dan keraguan. Dan janganlah Engkau jadikan kami di antara orang-orang yang Engkau benci, dan orang-orang yang tersesat, tetapi tempatkanlah kami di antara orang-orang yang mendapatkan syafaatnya.
Kemudian, hendaknya ia melangkah ke sebelah kiri dan mengatakan, “Semogalah kedamaian atasmu berdua, wahai sahabat Rasulullah saw, demikian juga rahmat Allah dan berkat-Nya. Semogalah kedamaian atasmu, wahai Abû Bakr al-Shiddîq ra. Semogalah kedamaian atasmu, wahai ‘Umar al-Fârûq ra. Ya Allah swt, limpahkanlah kepada mereka kebaikan yang banyak atas nama Nabi mereka dan seluruh muslimin. Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan. Janganlah Engkau letakkan pada hati-hati kami rasa dengki dan benci kepada orang-orang beriman, ya Allah swt Yang Mahamulia dan Maha Pemurah.” Setelah itu, hendaklah ia salat dua rakaat dan duduk. Disunatkan agar ia salat di antara makam dan mimbar di tengah Rawdhah; dan bila ia mau, mengusap mimbar untuk mendapatkan barakahnya; juga melakukan salat di masjid Quba; kemudian berziarah ke makam-makam syuhada dan membaca banyak doa di sana.
Setelah itu, bila ia akan meninggalkan Madinah, hendaklah mendatangi dulu masjid Nabi saw, mendekati makamnya, membaca salam kepada Nabi saw, dan melakukan persis apa yang dia lakukan sebelumnya, kemudian mengucapkan selamat tinggal kepadanya, demikian juga membaca salam kepada kedua sahabatnya dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Kemudian hendaknya ia mengatakan, “Ya Allah swt, janganlah Engkau jadikan ini sebagai yang terakhir bagi ziarahku ke makam Nabi-Mu. Bila Engkau takdirkan aku untuk mati, matikanlah aku dalam keadaan mencintainya dan sunahnya. Amin, Yâ arham al-Râhimîn (Wahai Yang Maha Pengasih di atas segalanya)! Setelah itu, ia pun dapat meninggalkannya dengan penuh kedamaian, insya Allah.
Penjelasan atas Doa al-Jîlânî, “Aku Telah Datang ke Rumah-Mu”
Penyebutan “datang ke Rumah-Mu” dalam doa yang direkomendasikan oleh Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî untuk para peziarah ke makam Nabi saw, menekankan pentingnya tempat sebagai media bantu yang berguna dalam memanjatkan doa. Tempat-tempat seperti ini meliputi ketiga masjid, rumah-rumah dan masjid-masjid yang ada hubungannya dengan nabi-nabi dan wali-wali Allah swt, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kedudukan penting dan barakah dari para wali Allah swt itu tidak berhenti setelah mereka wafat dan berakhirnya perbuatan mereka, tetapi terus berlangsung di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan mereka. Ini dapat dirujuk ke ayat tentang kunjungan Zakaria as kepada Maryam, yang bukan seorang nabi, tetapi seorang wali Allah swt, tatkala ia menunjuk pada kedudukan penting dari mihrab Maryam, suatu kedudukan penting yang didasarkan atas kesalehannya sendiri dan perbuatan-perbuatan nya. Zakaria as, karenanya, memberi perhatian khusus pada tempat tersebut dengan kembali mendatanginya dan melakukan doa di sana dan tidak di tempat lainnya.
Maka Tuhannya pun menerimanya dengan sebaik-baiknya penerimaan; Ia menumbuhkannya dengan kesucian dan keelokan. Dia pun dipelihara oleh Zakaria as. Setiap kali ia masuk ke dalam mihrabnya untuk menjenguknya, ia menemukannya telah dikaruniai rezeki. Ia mengatakan, “Wahai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini?” Ia berkata, “Ini semua dari Allah swt, karena Allah swt memberi rezeki siapa saja yang Ia kehendaki tanpa perhitungan.” Di sanalah Zakaria as berdoa kepada Tuhannya dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, berilah aku dengan karunia-Mu keturunan yang baik, karena Engkau Maha Pendengar atas doa.” Selagi ia berdiri salat di dalam mihrab, malaikat menyerunya, “Allah swt telah memberimu kabar gembira dengan Yahya as, yang akan mengokohkan kebenaran atas Firman dari Allah swt, sebagai orang terkemuka, yang menjaga kehormatan, dan seorang nabi—termasuk di antara orang-orang saleh” (3:37-39).
Kesucian Maryam al-Adzrâ (Sang Perawan) telah menjadikan mihrabnya sendiri sebagai suatu tempat yang suci. Zakaria as melihat ini dan menggunakan tempat tersebut sebagai media bantu bagi doanya. Doanya diterima secara langsung selagi ia masih berdiri di tempat tersebut. Inilah alasan mengapa al-Jîlânî menekankan secara khusus pentingnya suatu tempat dan merekomendasikan agar ayat tentang syafaat dibacakan oleh peziarah begitu datang ke makam Nabi saw.
Ini serupa dengan keterangan mengenai tawasul Abû Mûsâ al-Asy‘arî ra yang meletakkan pipinya pada permukaan makam, yang menunjukkan kedudukan penting tempat tersebut karena barakahnya. Ini serupa pula dengan kisah al-‘Utbî, yang dicuplik bab ini, di mana sang peziarah menyebutkan bahwa gundukan tanah itu sendiri merupakan tempat penuh barakah, lebih dari sekadar mengatakan bahwa ia sedang berziarah kepada Nabi saw.
Demikian halnya, doa dalam mihrab para wali di seluruh dunia akan dikabulkan, dikarenakan perbuatan baik, kesalehan, dan ketulusan mereka, meskipun mereka telah meninggal dunia, semata karena mereka mendiami tempat tersebut. Sama halnya, Abû Bakr ra dan ‘Umar ra meminta izin untuk dimakamkan di dekat Nabi saw. karena mengharap mendapatkan barakah dari tempat tersebut.
Ini lebih jauh dikuatkan oleh kata-kata ‘Â’isyah tatkala mengizinkan ‘Umar ra untuk dimakamkan di dekat Nabi saw. di tempat miliknya; “Aku ingin dikuburkan di sana (dekat Nabi saw.), tetapi aku tidak ingin orang-orang memperlakukanku sebagai orang suci.” Ini menunjukkan bahwa ‘Â’isyah tahu bahwa tempat itu suci, tetapi karena kerendahhatian, beliau menyediakan hak istimewa atas kesucian itu buat Abû Bakr ra dan ‘Umar ra ketimbang untuk dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar