(Diintisarikan oleh Jokotry, dari buku “Spiritual Salah Kaprah” karya Abu Sangkan)
Terkadang, Ilmuwan memahami sesuatu yang mistis dikaitkan dengan perubahan kimiawi dalam otak seseorang atau reaksi listrik terhadap temporal lobes (Lobus Temporal yaitu bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis). Bahwa seseorang yang terkena penyakit skizophrenia disamakan dengan orang yang sedang mendapatkan pengalaman mistis bagi pejalan spiritual. Nabi Muhammad mengalami pengalaman mistis yaitu ketika mendapatkan wahyu di Ji’rana. Tubuhnya menggigil dan berkeringat, terdengar suara orokan seperti sedang tidur mendengkur agak keras. Bagi ilmuwan, pengalaman Nabi ini hanya dilihat dari aspek luar saja, bukan dari mana asal peristiwa tersebut. Sehingga, setiap yang berkaitan dengan getaran tubuh pastilah dikaitkan dengan pusat syaraf yang bergerak, sehingga menimbulkan guncangan kepada seluruh tubuh. Hal ini sulit dibedakan antara orang yang sedang mengalami depresi atau mengalami kerusakan pada otak, reaksi serangan penyakit epilepsi, virus maningitis dengan pengalaman spiritual.
Disinilah kita harus mulai berhati-hati terhadap pandangan Barat mengenai spiritual. Berita mengejutkan baru-baru ini, Danah Zohar, seorang spiritualis atheis, menyatakan bahwa “Seorang spiritualis tidak harus beragama, karena spiritual itu ternyata bukan agama. Seorang atheis pun bisa berspiritual dengan sangat baik, melebihi seorang yang memiliki dasar agama formal pada umumnya.” Pendapat ini didukung oleh Michael Persinger, seorang neurolog-psikolog asal Canada, yang menyatakan bahwa “Spiritual bisa didapatkan di ruang laboratorium tanpa menjadi orang yang religius.” (lihat SQ: Kecerdasan Spiritual, hal.80, Mizan).
Pada penelitiannya (Dr. Michael Persinger), ia merasa mengalami “berjumpa” dengan Tuhan. Pada awalnya ia mengukur gelombang otak pada pasiennya yang mengalami kehadiran Tuhan atau dewa-dewa pada acara ritual keagamaan tertentu, untuk diteliti dari segi neorologi. Setelah mengadakan pengukuran dengan alat stimulator magnet transcranial (suatu alat yang mengeluarkan medan magnet yang cukup kuat dan berubah-ubah dengan cepat di areal kecil jaringan otak. Jika alat ini digunakan akan merangsang berbagai area di korteks-motoirk otak, maka otot-otot tertentu akan berdenyut atau anggota badan akan bergerak sendiri) terhadap otak pasien yang trance dan penderita epilepsi, maka ia mencoba mengalami sendiri keadaan serupa yang dialami para pasiennya, baik yang mengalami kegilaan maupun spiritualitas. Dalam percobaan itu, Dr. Persinger menghubungkan kepalanya dengan stimulator magnet transcranial, untuk merangsang jaringan di Lobus Temporal. Hasilnya, dia melihat “Tuhan”. Dr. Persinger berhasil menggali dan menyelidiki kaitannya dengan ragam pengalaman mistis, seperti pengalaman keluarnya ruh dari jasad, pengalaman kehidupan zaman lalu, dan sebagainya dibawah kontrol laboratorium.
Prof.V.S Ramachandran, Direktur Centre for Brain and Cognitive di Universitas California, San Diego, mengatakan bahwa “Setiap pasiennya yang berangsur pulih dari serangan epilepsi, maka berangsur pula pengalaman spiritualnya menghilang.” Pengalaman spiritual yang dialami pasien epilepsi terkait dengan meningkatnya aktivitas listrik pada bagian lobus temporal.
Penelitian lain, mengungkap bahwa otak pemain drum yang sudah mahir dan menjiwai, ternyata kondisi gelombang otaknya sama dengan seorang meditator sekelas Dalai Lama dari Tibet. Dari sini disimpulkan bahwa seorang spiritualis bisa diciptakan di ruang laboratorium tanpa harus bersusah payah ‘uzlah’ (kontemplatif) dan beriktikaf .
Sebagai orang Islam, sebaiknya kita tidak terkecoh dengan hasil temuan dari penelitian para neurolog spiritual diatas. Mereka menemukan pengalaman spiritual yang banyak dialami meditator atau spiritualis yang memiliki persepsi sendiri. Tentu saja, hal ini tidak bisa dibandingkan dengan apa yang dialami para nabi dan rasul yang mengalami pengalaman spiritual yang sangat tinggi. Pengalaman spiritual para nabi tak dapat dibandingkan dengan para penyembah berhala, atau penyembah Tuhan yang masih bisa dipersepsikan , karena sama sekali berbeda dengan konsep ketuhanan Islam yang utuh; ketuhanan murni yang tidak bisa dipersepsikan oleh pikiran atau apapun; inilah tauhid.
Pengalaman spiritual yang demikian tidak dapat ditangkap oleh otak, karena otak tidak mampu menangkap getaran gelombang atau merespons sesuatu yang bisa dipersepsikan melalui reseptor. Sehingga, wajarlah kalau mereka harus mempengaruhi otaknya untuk mencapai ketinggian spiritualnya melalui sentuhan suara atau irama ritmik secara terus menerus agar mencapai keadaan ekstase.
Kemudian, sentuhan gelombang suara tersebut lambat laun mempengaruhi lobus temporal, sehingga aktivitas listrik pada otaknya bergetar sebagaimana orang-orang yang terserang epilepsi. Penelitian Dr. Michael Persinger dan V.S Ramachandran dalam menemukan kasus-kasus pengalaman spiritual ternyata tidak ada bedanya dengan kasus yang dialami para penderita epilepsi. Lebih lanjut, Michael Persinger menjelaskan bahwa ketika daerah sistem limbik (pusat emosi dan memori pada otak) dirangsang, maka akan terjadi peningkatan aktivitas yang sangat kuat dan menimbulkan emosional yang sangat kuat. Hal ini terjadi karena peran hipokampus (berperan merekam pengalaman di dalam memori) yang berkaitan dengan memori disimpang. Namun pusat emosi ini akan bereaksi tergantung doktrin yang ditanamkan dan masuk ke dalam memori pada otak. Jika pihak agama Kristen menanamkan doktrin ketuhanan misalnya, pastilah emosi yang muncul terarah kepada Yesus. Jika ia beragama Buddha maka emosi yang muncul adalah kepada sang Budhha. Peranan informasi yang ditanamkan secara terus menerus di dalam memorinya mengakibatkan reaksi-emosional muncul sesuai dengan kepercayaannya. Jika demikian adanya, spiritual yang dipahami para neurolog justru mengaburkan peranan agama. Karena peristiwa agama hanya sekedar reaksi listrik secara biologis. Pemahaman ini berakibat sistem keimanan kita terhapus dengan sendirinya, bahkan mengarah kepada atheisme seperti yang disimpulkan para penelitinya sendiri. Padahal para neurolog dan psikolog sampai sekarang tidak pernah mampu menunjukkan secara demonstrasional apa itu jiwa yang sebenarnya, kecuali hanya sampai pada gejala yang diakibatkan oleh jiwa atau ruh.
Jalaluddin Rahmat, seorang psikolog yang juga kental dengan tradisi sufi, dalam suatu wawancara mengatakan bahwa Danah Zohar bukanlah seorang psikolog, bukan pula seorang neurolog. Kekeliruan Danah Zohar-lah yang menjadikannya populer dan sekaligus membumikan gagasannya, yaitu menyebut kecerdasan spiritual sebagai SQ (spiritual quotient). Karena teori ini mengacu pada konsep IQ yang membagi usia mental dengan usia kronologis. Misalnya, ada anak yang usia kronologisnya 5 tahun, tapi kecerdasan mentalnya sudah seperti anak usia 10 tahun. Maka teorinya adalah 10:5X100 = 200. Jadi, IQ anak tersebut adalah 200.
Mengenai pandangan Danah Zohar tentang berspiritual tanpa beragama, sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Tetapi, ada satu pemahaman yang lebih “nakal” lagi yakni konsep berspiritual tanpa harus percaya kepada Tuhan. Lalu apa yang mereka percaya? Seorang antropolog kemudian menanyakan keimanan mereka, mereka menjawab “our dance is our theology”. Mereka sama sekali antipati membicarakan Tuhan, mereka hanya membicarakan bagaiaman menghilangkan derita dalam kehidupan. Konsep ini seperti yang diajarkan agama Buddha, yakni melepaskan tekanan derita dari kehidupan dunia. Upaya untuk melepaskan kesengsaraan itu dikenal denagn istilah meditasi. Dalam hal ini, meditasi bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus mempercayai Tuhan sebagaimana ajaran meditasi atau yoga.
Fenomena demikian juga tergambar dalam dunia modern saat ini. Tidak sedikit orang berkata, saya seorang spiritualis tetapi bukan seorang religius. Secara ilmiah, penggabungan kedua kecerdasan (emotional intelligence dan spiritual intelligence) adalah –something you are not able to check and account- suatu hal dimana anda tidak bisa memeriksa dan melaporkan hasilnya. Bila ukurannya adalah sains, maka bagaimana kita mendeteksi perbuatan zina ? Perbuatan zina dan tidak zina, kalau dideteksi secara ilmiah tidak ada bedanya. Karena yangg bereaksi pada otak ketika membicarakan soal seks adalah G-spotnya (titik birahi). Hal ini terbukti pada penelitian Ramachandran yang tidak membedakan antara orang yang mengidap penyakit epilepsi dan yang mengalami pengalaman spiritual, atau dengan orang yang mengalami gangguan mental. Bila ini dipertahankan, bisa jadi kesimpulan penelitian itu akan mengarah kepada pengalaman Rosulullah di Ji’rana pada saat Rasul menerima wahyu. Ketika itu Nabi Muhammad mengalami guncangan hebat pada tubuhnya bahkan sampai terdengar suara orokan (dengkuran ketika tidur). Sebagian orang-orang orientalis menuduh beliau memiliki penyakit epilepsi. Mengenai hal ini, mungkin kita teringat bagaimana Salman Rushdie berceloteh melalui novel kontroversialnya, Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) yang mencoba mengarah terhadap pengalaman ini. Padahal, jelas gelombang elektromagnetik tidak mampu menghitung getaran haram dan halal pada suatu amal manusia.
Sumber artikel : http://mahadewa-kalashakti.com
Rabu, 07 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar